Badanku kini semakin
kurus, kakiku lemah untuk melangkah. Aku seperti wanita tua yang hidup sebatang
kara. Disini aku hanya menyusahkan mereka.. orang tuaku, suamiku dan adikku.
Bermula 2 tahun silam.
Usia pernikahanku sudah menginjak tahun kedua, tetapi hidupku banyak dihiasi
oleh air mata. Orang tuaku membenci suamiku dan hampir 2 tahun aku menjalani
hidup yang berjauhan dengan suamiku. Tidak ada pilihan lain, aku terpaksa hidup
berjauhan dengan suamiku hanya karena ingin membahagiakan kedua orang tuaku.
Aku bekerja disebuah
perusahaan swasta dan suamiku bekerja disebuah RS di kota B. hubunganku dengan
suamiku sangat baik, hanya pertengkaran kecil yang kadang terjadi. Jika bukan
karena orang tuaku, kami tidak akan bertengkar. Suamiku sangat mencintaiku.
Dia membelikanku sebuah rumah dikota itu, berharap suatu saat aku akan tinggal bersamanya, aku tidak bisa berjanji lebih banyak dengannya, aku tidak ingin membuatnya kecewa.Hampir 2 tahun kebersamaan kami, aku belum juga hamil. Aku tau suamiku sangat menginginkan seorang anak, dan aku belum bisa memberikannya.
Disini, aku sering sekali menangis, menangis karena kadang orang tuaku yang mengacuhkanku, kadang keras terhadapku. Setalah aku menikah, orang tuaku tidak menyayangiku seperti dulu sebelum aku menikah. Aku tidak mengerti, dimana salahnya suamiku hingga mereka amat membencinya.Kadang aku menyibukkan diriku dikantor, untuk menghilangkan rasa sedih dan tertekannya aku. Aku lebih sering lembur dan pulang larut agar tidak mendengarkan hinaan atau melihat wajah kesalnya ibu dan bapakku.
Hanya adikku dirumah ini yang selalu perhatian dan sayang kepadaku, namanya dinda. Hari itu, libur sekolah. Dinda masih duduk dibangku SMP kelas 2. Dia mengajakku ke pantai, aku pergi hanya berdua dengannya. Menikmati suasana pantai, melihat ombak berkejaran, menghantam karang. Hari itu, hatiku sangatlah gembira. Walaupun suamiku saat itu tidak berada disisiku.Aku sangat menyukai pantai, ketenangan yang kurasa disini, meskipun ramai orang berteriak bermain ombak dilautan. Disinilah aku merasakan bebanku sedikit berkurang.
Kami memilih salah satu
pondok yang kosong, saat aku akan memasuki pondok itu, kepalaku terbentur oleh
tiang penyangganya, sakit.. sangat sakit. Aku merasakan pusing untuk beberapa
saat, mual yang kurasa sangatlah hebat, ingin rasanya aku muntahkan semua isi
perutku. Dinda sangat khawatir
akan keadaanku, “mbak gapapa, kalau mbak sakit kita pulang saja ya..”, aku
tidak ingin membuat adik semata wayangku ini panik, kucoba untuk bertahan dari
rasa sakit ini. “mbak gapapa koq din, Cuma sakit sedikit saja..”… dinda mungkin
tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Wajahku begitu pucat, dan tiba-tiba
semuanya menjadi gelap.. aku pingsan.
Saat aku tersadar, aku
berada di IGD RS yang tak jauh dari pantai itu, dinda menangis sambil memegang
erat tanganku.. “dinda udah ngabarin mas Fahmi mbak, mas fahmi lagi dijalan
pulang kesini mbak”.. Suamiku pulang, aku
tidak ingin semua panic dan semua sedih dengan keadaanku, aku pasti kuat. Aku
ini wanita kuat, hanya terbentur sedikit tidak akan membuat aku mati. Aku
meyakinkan adikku, kalau aku sehat-sehat saja.
Sekitar 3 jam aku
dirawat di IGD, dan aku diperbolehkan pulang, sesampai dirumah, bapakku tau
kalau aku masuk RS karena pingsan dipantai tadi. Aku baru itu melihat kembali,
bapakku begitu panic, terakhir kali aku melihat bapakku panic saat usiaku 10
tahun, saat aku kecelakaan, tertabrak motor. Bapak mendekapku begitu erat,
“kamu gakpapa nis??” aku melihat wajah sendu dan mata bapak ku yang
berkaca-kaca. “Nisa gapapa koq pak, tadi Cuma pusing aja, mungkin karena tadi
pagi nisa gak makan, makanya pingsan”. Aku kembali meyakinkan bapakku..
Ibu.. dimana ibuku??
Aku sama sekali tidak melihatnya, dari aku pulang dari RS tadi. Aku bertanya
kepada dinda,. “ibu mana din, koq gak Nampak dari tadi?”.
“oo.. ibu kepajak mbak,
bareng sama tante ita.”
Aku hanya tersenyum
mendengar jawaban dinda. Tidak lama kemudian, ibu pulang. Dan bapakku
memberitahukan perihal tadi aku pingsan dipantai.
Bukan jawaban atau
pelukan yang aku inginkan yang kudapat, tapi kata-kata kasar ibu yang sangat
menyakitkan hatiku terdengar begitu pedih.. “kalau memang sakit, gak enak badan
gak usah kemana-kemana, bikin repot orang saja kamu ini.”
Tanpa terasa air mata
ini menetes, kenapa ibuku begitu kasar padaku, kenapa dia membenciku? Apa salah
yang telah aku perbuat hingga membuatnya begitu benci padaku??
Kueluskan dadaku,
menarik nafas panjang dan masuk kekamarku dan terus menangis..
Jam 8 malam, suamiku
sampai. Dia melihat mataku yang Nampak bengkak karena air mata. Tanpa ada
pertanyaan, dia hanya memelukku. Ketenangan ini yang aku butuhkan, aku takut
ketenangan ini akan pergi.
Hanya 2 hari suamiku bisa menemaniku disini, karena dia harus kembali kekota B untuk pekerjaannya. Ingin rasanya aku ikut dengannya. Melepas suamiku pergi, seperti separuh jiwaku hilang.Aku pun kembali kekantor seperti biasa.. hari ini sangat panas, dan aku hanya memesan makanan saja untuk diantarkan kekantorku. Siang ini, ada hal mengejutkan kembali terjadi, aku mimisan. Darah yang begitu banyak menetes dari hidungku, sampai terjatuh kemakanan kotak yang kupesan tadi. Tidak cukup tissue yang ada dimeja ini untuk menahannya..
“Nis, kamu kenapa?? Banyak banget darahnya, kita ke RS ya??” tegur sahabatku yang satu kantor denganku. “kepalaku sakit banget van..”.. Vanny membawaku ke RS, dan aku harus melakukan beberapa pemeriksaan. Dimulai dari pemeriksaan darah dan CT-Scan kepala. Dokter menyuruhku kembali 3 hari lagi.Untung ada uang tabunganku, uang dari gaji dan kiriman suamiku, jadi aku tidak perlu meminta uang lagi pada suamiku untuk pemeriksaan ini. Selain itu, aku tidak ingin dia panic akan keadaanku. Selama 3 hari menunggu, aku terus mimisan, saat aku sedang sedih, stress dan terlalu capek. Aku tidak tau penyakit apa yang sedang menggerogoti tubuhku. Aku berharap aku bisa terus sehat sampai aku bisa memberikan suamiku seorang anak.
Keluargaku dan suamiku
tidak ada yang tau akan hal ini, hanya sahabatku vanny saja yang mengetahuinya,
dan aku pun mengatakan pada vanny agar dia berjanji untuk merahasiakan ini dari
siapapun. 3 hari kemudian, aku
kembali sendiri ke RS untuk mengambil hasil pemeriksaan dan bertemu dengan Dr.
Soetomo, spesialis onkologi. “ada 2 kabar yang akan saya beritahukan untuk
anda, bahwasanya 1 kabar baik dan 1 kabar buruk”. “apa itu dok..??” Tanya ku
cemas..
“ kabar baiknya,
selamat anda hamil. Usia kandungan anda memasuki minggu ke 5.” Aku sangat
bahagia mendengarnya, setelah hampir 2 tahun aku menunggu akhirnya Allah
mendengar doaku. Aku bisa hamil..
“berarti saya sering
mual, muntah dan mimisan itu karena saya hamil dok?? Tanyaku bahagia.
“maaf ibu nisa, inilah
kabar satu lagi yang akan saya beritahukan, kenapa selama ini anda sering sakit
kepala, mual, muntah dan mimisan. Berdasarkan hasil pemeriksaan, anda mengidap
kanker otak stadium 3. Masih bisa disembuhkan, walaupun keberhasilan sangat
kecil.. dengan kemoterapi.” Bagaikan petir disiang hari aku mendengar kabar itu
dari dr. Soetomo. Aku menangis, merasa putus asa..
“apa tidak ada cara
lain selain kemoterapi dok??, saya tau dok, walaupun saya tidak sekolah
dikesehatan, kemoterapi itu bisa membunuh anak saya dok..”
Dr. soetomo menarik
nafas panjang mencoba menenangkanku. “hanya 1 pilihan bu, hanya 1 yang bisa
diselamatkan. Jika ibu ingin kanker ini hilang, anda harus merelakan anak ini”.
“gak dok, suami saya
sudah lama menantikan anak ini, saya tidak mau menggugurkannya.” Aku berlalu
pergi sambil terus menangis dikoridor RS.
Aku pulang kerumah
dengan wajah yang ceria, aku tidak ingin semua tau kalau aku sakit.
“pak.. aku hamil..” aku
memberitahukan pada bapakku. Dan bapakku memelukku sambil tersenyum.. “buk..
kita bakalan punya cucu..” bapakku begitu gembira. Dan ibuku berlari kearahku
sambil memelukku, “jangan capek-capek lagi ya nak, jaga kandunganmu..”
Aku terharu melihat ibu
dan bapakku yang sangat bahagia, aku tidak ingin membuang kebahagiaan ini. Aku
mengabari suamiku, dan suamiku pun sangat senang dengan berita ini. “selamat ya
sayang.. kamu sekarang bisa jadi bunda”. Terhiris hatiku rasanya..
Semua berubah saat mengetahui kehamilanku. Allah memberikan kebahagiaan sesaat untukku. Usia kehamilanku menginjak bulan ke 3, aku pamitan pada bapak dan ibuku untuk pergi ke kota B bersama suamiku. Dulu, bapak dan ibuku sangat marah saat aku pergi ikut suamiku kekota B, sekarang semuanya berubah. Mereka begitu baik kepadaku.
Selama 3 bulan ini, aku
terus mengalami sakit kepala, mual, muntah dan mimisan seperti biasa. Aku
meyakinkan suamiku kalau gejala yang aku alami saat ini adalah gejala dari
kehamilanku. Sampai saat ini suamiku tidak menaruh curiga akan keadaanku..
hasil pemeriksaan aku simpan dikamar, dirumah ibuku. Kusimpan rapat agar tak
seorang pun dapat meraihnya.
Siang itu, saat aku
sedang membuat masakan untuk suamiku, dinda adikku menelepon. “mbak….” Sapanya
sambil menangis. “kenapa din??”. Aku panic dan aku takut terjadi sesuatu pada
bapak dan ibuku. “mbak kenapa gak bilang sama dinda, mbak sakit kan??”
“kamu ngomong apa sih
din, mbak gak kenapa-kenapa kok.” Aku meyakinkan dinda kalau aku sehat-sehat saja.
“dinda tau mbak, dinda
dapatin hasil pemeriksaan mbak, mbak sakit kanker otak kan mbak?? Kenapa mbak
sembunyikan semuanya dari dinda??” aku menangis mendengarnya.
“kamu masuk kamar mbak
ya din??”
“maaf mbak, tadi dinda
Cuma mau minjem jaket mbak, gak sengaja dinda nemuin hasil pemeriksaan mbak,
disitu tertulis mbak sakit kanker otak stadium 3, mbak harus berobat mbak…”
dinda terus menangis..
“mbak mohon din, jangan
kasih tau semua ini sama ibu dan bapak ya, tolong mbak din.. kalau kamu sayang
sama mbak, kamu jaga rahasia ini ya..”
Dinda hanya terdiam dan
dia mematikan telponnya, aku tau adik semata wayangku itu sangat terpukul.. aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Aku tidak ingin merusak semua kebahagiaan ibu, bapak dan suamiku.
Menginjak kehamilanku
dibulan ke 7, ibuku mengadakan syukuran. Semua keluarga berkumpul. Hari ini adalah
hari kebahagiaan untukku. Kebahagiaan terakhir yang kurasakan bersama
orang-orang yang aku cintai. Disaat suamiku menepung tawariku, tiba-tiba kakiku
sangat lemas, mataku berkunang-kunang, dan darah dihidungku pun keluar lagi.
Semuanya panic.. hingga akhirnya aku jatuh pingsan.
Suamiku yang begitu
panic, menggendongku kemobil dan membawaku ke RS. Dinda yang saat itu tau akan
penyakitku menangis tak henti-hentinya.. dia mungkin akan menyangka, kalau hari
ini adalah hari terakhirku.
Sesampai di RS, dokter
memeriksa keadaanku, dan dokter mengatakan kalau dia ingin berbicara dengan
suamiku. “ ibu nisa dalam keadaan kritis, dia harus melakukan kemoterapi untuk
menyelamatkan nyawanya”. Suamiku tidak mengerti dengan yang dimaksud dokter..
“apa dok, kemoterapi??
Untuk apa dok?? Istri saya kan sedang hamil, untuk apa kemoterapi??”
“maaf pak Fahmi, istri
anda mengidap kanker otak, dan saat ini sudah memasuki stadium 4. Dia tidak
akan bisa bertahan lebih lama lagi.. kita harus melakukan operasi saesar untuk
menyelamatkan bayinya.” Suamiku histeris, tidak percaya dengan apa yang
dikatakan dokter itu.
“lakukan saja yang
terbaik dok, selamatkan istri saya..”
Saat aku tersadar, aku
berada di kamar ICU. Perutku mengecil.. aku menangis, kemana perginya bayiku…
aku berteriak, menangis, hingga perawat itu kembali menyuntikkan penenang
kepadaku..
Aku bermimpi berjalan
diantara ribuan pepohonan, aku seorang diri disana.. dan aku melihat suamiku
bersama seorang anak perempuan yang sangat cantik.. aku mendekatinya, tetapi
mereka menjauhiku.. aku menangis ditinggal seorang diri ditengah hutan seluas
ini.. hingga akhirnya aku terbangun.. dan aku melihat seluruh keluargaku sudah
berada disekelilingku..
Aku sudah dipindahkan
kekamar biasa.. aku menangis, dan bertanya pada suamiku, “dimana anak kita
mas..”. suamiku tersenyum, dia mengatakan “anak kita dalam incubator sayang,
anak kita perempuan, cantik seperti kamu..”. aku tersenyum dan bahagia,. “dia
sehat mas, boleh aku melihatnya??” suamiku belum mengizinkanku untuk melihat
anakku.. ada perasaan tidak yakin kalau aku sudah melahirkan..
“nanti kalau kamu sudah
kuat, kita lihat anak kita ya..” suamiku meyakinkanku..
Dokter kembali
memeriksa keadaanku, dan kembali memberitahukan kepada suamiku. “keadaan ibu
nisa semakin kritis untuk penyakitnya, menjalani kemoterapi sudah sangat tipis
kemungkinannya.. kankernya sudah menyebar, dia tidak akan bisa bertahan lebih
lama lagi.”
“berapa lama lagi dia
mampu bertahan dok?? Suamiku meneteskan air mata..
“berdasarkan pemeriksaan,
ibu nisa hanya mampu bertahan selama tidak lebih dari 5 bulan lagi. Semua
tergantung yang diatas pak Fahmi.. banyak istigfar..” suamiku begitu terpukul
akan keadaanku..
Aku terlalu menyusahkan
semua orang..
8 hari dirawat di RS aku
diperbolehkan pulang, kakiku sudah tidak bisa digerakkan lagi.. sekarang aku
lumpuh.. mataku mulai kabur. Aku sudah tidak berarti lagi sebagai istri dan
bunda untuk anakku.
Anakku begitu cantik,
aku menamainya cahaya cinta. Dialah satu-satunya harta berharga yang kuberikan
untuk suami, ibu dan bapakku..
Aku termenung dikursi
roda ini.. hingga suamiku membawaku kekamar untuk berbaring..
“mas.. aku sangat
lelah, badanku sakit semua, tapi aku ingin kamu mengabulkan satu
permintaanku..”
“apa itu sayang..??”
suamiku memandangku dengan wajahnya yang sendu dan mata berkaca-kaca.
“aku ingin kita
kepantai mas, aku ingin menghilangkan semua rasa lelah ini disana..” suamiku
hanya mengiyakan permintaanku.
Kami menitipkan cahaya
cinta kami pada ibu dan bapakku, sebelum aku pergi, aku berkali-kali
menciumnya, memeluknya, seakan-akan tidak ingin berpisah dengannya. Aku memohon
maaf kepada ibu dan bapakku atas kesalahan dan kerepotan mereka selama ini..
ibu dan bapakku menangis memandangiku..
Dinda.. adik
tersayangku.. aku memeluknya, sambil berbisik.. “jaga ibu dan bapak ya din..
dan jaga anak mbak baik-baik.. sayangi dia seperti anakmu…” dinda menangis
sambil mengiyakan permintaanku..
Aku pergi kepantai,
tempat yang sangat aku sukai dalam hidupku. Aku memilih salah satu pondok
dimana aku pernah pingsan dulu.. aku duduk sambil dipeluk suamiku..
“mas.. jaga anak kita
baik-baik ya.. jangan sia-siakan dia, jangan sakiti dia..”
“iya sayang.. “ suamiku
menangis, air matanya menetes ditanganku..
“mas.. aku mau kamu
ceritakan saat-saat pertama kamu mencintaiku, aku ingin mendengarnya…” suamiku
hanya mengiyakan perkataanku..
Dia mulai bercerita,
kata-kata yang dia ucapkan dari bibirnya tidak lagi sampai ditelingaku, mataku
mulai gelap, semuanya terasa ringan.. dan hingga akhirnya aku pergi
menghadap-Nya.
By
: Deasy Ashandy
Tambon Baroh
Aceh Utara
0 komentar:
Posting Komentar